KEHAMILAN DENGAN LUPUS
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Lupus adalah salah satu
penyakit autoimun yang bersifat akut kronis yang disebabkan adanya kelebihan
aktivitas sistem imunitas dan sistem itu menyerang tubuh sendiri. Lupus dapat
menyerang beberapa jaringan dan organ tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh dan kematian. Penyebab lupus saat ini belum diketahui dengan pasti.
Faktor lingkungan dan genetik memiliki peranan penting dalam timbulnya penyakit
itu. Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain infeksi, antibiotik
khususnya golongan sulva dan penicillin, sinar ultraviolet, stres berat,
beberapa jenis obat-obatan, dan hormon.
Gejala lupus antara
lain nyeri sendi, pembengkakan sendi, demam lebih dari 38 derajat Celcius,
kelelahan berlebihan, anemia, kelainan ginjal, nyeri dada saat bernapas,
sensitif sinar matahari, rambut rontok, kelainan pembekuan darah, dan perubahan
jari menjadi putih kebiruan saat dingin. Akibat dari penyakit itu tidak hanya
dialami oleh penderita, tetapi juga mempengaruhi keluarga, teman, dan rekan
kerja. Namun demikian, penyakit itu kurang diakui sebagai masalah kesehatan
global oleh masyarakat, tenaga kesehatan profesional, dan pemerintah, sehingga
perlu mendorong kesadaran yang lebih besar tentang lupus.
Secara epidemiologi, 90% penyakit lupus menyerang perempuan serta 10% anak-anak dan laki-laki. Rasio penderita lupus di AS adalah 1:2.000 orang, China 1:1.000 orang, dan keturunan Afro-Karibia 1:500 orang. Angka harapan hidup 5 tahun untuk penderita lupus berkisar 75%-98%. Angka harapan hidup itu meningkat seiring dengan semakin baiknya terapi pada penderita lupus. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Bangsa Asia dan Afrika lebih rentan terkena penyakit in dibandingkan dengan kulit putih. Data di Amerika menunjukkan angka kejadian penyakit Lupus Ras Asia lebih tinggi dibandingkan Ras Kaukasia.
Secara epidemiologi, 90% penyakit lupus menyerang perempuan serta 10% anak-anak dan laki-laki. Rasio penderita lupus di AS adalah 1:2.000 orang, China 1:1.000 orang, dan keturunan Afro-Karibia 1:500 orang. Angka harapan hidup 5 tahun untuk penderita lupus berkisar 75%-98%. Angka harapan hidup itu meningkat seiring dengan semakin baiknya terapi pada penderita lupus. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Bangsa Asia dan Afrika lebih rentan terkena penyakit in dibandingkan dengan kulit putih. Data di Amerika menunjukkan angka kejadian penyakit Lupus Ras Asia lebih tinggi dibandingkan Ras Kaukasia.
Di Indonesia jumlah
penderita Lupus yang tercatat sebagai anggota YLI 789 orang, tetapi bila kita
melakukan pendataan lebih seksama jumlah pasien Lupus di Indonesia akan lebih
besar dari Amerika ( 1.500.000 orang).Di Jawa Barat jumlah penderita lupus
terdata mencapai 700 orang. Setiap bulan misalnya di RSHS selalu ada 10 pasien
lupus baru. Lupus juga dikenal sebagai penyakit seribu wajah karena menyerang
semua sistem organ dan gejalanya bervariasi. Penyakit lupus dapat diderita
siapa saja tanpa kecuali. Namun wanita lebih beresiko 6 hingga 10 kali
dibandingkan pria, terutama pada usia 15 hingga 50 tahun. Karenanya, lupus
seringkali menimbulkan berbagai masalah kesehatan, contohnya saja keguguran
(jika seorang wanita sedang hamil terkena penyakit lupus), gangguan
perkembangan janin, atau dapat menyebabkan bayi meninggal saat dilahirkan.
Kehamilan pada ibu
dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) sangat berhubungan
dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko kematian ibu
hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi karena komplikasi
yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan kelainan darah
(Varghese, Crocker, Bruce & Tower, 2011). Diperkiranan penderita SLE
mencapai 5 juta orang diseluruh dunia. Prevalensi SLE di India sangat kecil
ditemukan 3 kasus per 100.000 populasi yang dilaporkan. Kejadian SLE di UK
dilaporkan 49,6 kasus per 100.000 populasi ( Roy, Das & Datta, 2010).
Penyakit
SLE menyerang hampir pada 90% wanita yang terjadi pada rentang usia reproduksi
antara usia 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki adalah 5 : 1 (Kusuma,
2007). Penyakit SLE yang kebanyakan terjadi pada wanita di usia reproduksi
seringkali menimbulkan masalah kesehatan terutama pada masa kehamilan yang
dapat membahayakan kondisi ibu dan janin. Dilaporkan wanita hamil yang
menderita SLE memiliki komplikasi yang buruk terhadap kondisi ibu dan janin.
Oleh karena itu penyakit SLE sangat beresiko tinggi pada kehamilan
B.
Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) pada kehamilan.
C. Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa
mampu menjelaskan tentang definisi penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE).
2. Agar mahasiswa mampu menjelaskan tentang
eriologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
3. Agara mahasiswa mampu menyebutkan gejala dan
penyebab penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
4. Agar mahasiswa mampu menyebutkan klasifikasi
dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
5. Agar mahasiswa mampu menjelaskan tentang
patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
6. Agar mahasiswa
mampu menjelaskan tentang diagnosa dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)
7. Agar mahasiswa mampu menjelaskan resiko dari
penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) terhadap kehamilan
8. Agar mahasiswa mampu menjelaskan tentang
perawatan kehamilan dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Penyakit LUPUS adalah penyakit baru
yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak
tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit Lupus mencapai 5 juta
orang, lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Arti kata lupus
sendiri dalam bahasa Latin berarti “anjing hutan”. Istilah ini mulai dikenal
sekitar satu abad lalu. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai
kelainan kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak
merah di bagian wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan ,
rambutnya rontok, persendian kerap bengkak dan timbul sariawan. Penyakit ini tidak
hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang
ada di dalam tubuh. Penyakit Lupus dalam ilmu kedokteran
disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang
menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau
kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.
B. Etiologi
Faktor penyebab terserangnya seseorang terhadap
penyakit Lupus hingga kini belum diketahui, tetapi pengaruh lingkungan dan
faktor genetik, hormon diduga sebagai penyebabnya.
1.
Faktor Genetik : Tidak diketahui gen
atau gen – gen apa yang menjadi penyebab penyakit tersebut, 10% dalam keluarga
Lupus mempunyai keluarga dekat orang tua atau kaka adik) yang juga menderita
lupus, 5% bayi yang dilahirkan dari penderita lupus terkena lupus juga, bila
kembar identik, kemungkinan yang terkena Lupus hanya salah satu dari kembar
tersebut.
2. Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu
Lupus, misalnya : infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya kelompok
sulfa dan penisilin), cahaya ultra violet (matahari) dan penggunaan obat – obat
tertentu.
3.
Faktor hormon, dapat menjelaskan mengapa
kaum perempuan lebih sering terkena penyakit lupus dibandingkan dengan
laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit Lupus sebelum periode
menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon,
khususnya ekstrogen menjadi penyebab pencetus penyakit Lupus. Akan tetapi
hingga kini belum diketahui jenis hormon apa yang menjadi penyebab besarnya prevalensi
lupus pada perempuan pada periode tertentu yang menyebabkan meningkatnya gejala
Lupus masih belum diketahui.
4. Faktor sinar matahari adalah salah satu kondisi
yang dapat memperburuk gejala Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar
matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi
autoimmun. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam
hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah
pukul 16.00 WIB dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan
matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia, merupakan
faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka terhadap sinar matahari
dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap
sinar matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal
terhadap sinar matahari.
C. Gejala
dan penyebab penyakit lupus
Gejala-gejala yang sering dijumpai
pada penderita penyakit Lupus adalah sebagai berikut :
1. Ruam
kemerahan pada wajah dan tubuh
pada penderita Lupus biasanya timbul ruam kemerahan pada bagian hidung dan pipi
mirip kupu-kupu atau disebut butterfly rush. Ruam tersebut bisa timbul pada
tubuh menyerupai cakram, timbul dan bersisik.
- Sariawan
Timbul sariawan pada mulut dan tenggorokan - Nyeri Sendi, nyeri pada sendi disertai dengan pembengkakan dan penumpukan cairan
- Anemia
Sel-sel darah merah diserang oleh penyakit Lupus ini sehingga menyebabkan anemia. - Kulit yang peka, pada penderita penyakit Lupus kulit semakin peka terhadap paparan sinar matahari sehingga kulit mudah sekali menjadi gosong
- Kelainan Ginjal, didalam urin terdapat protein, berbusa atau berdarah
- Demam dan kelelahan yang berlebihan
- Serositis
Terdapat cairan dirongga jantung sehingga nyeri saat menarik nafas - Kelainan imunologi, ada antibodi lain yangtidak seharusnya ada didalam tubuh
- Kelainan Saraf, tiba-tiba kejang tanpa penyebab yang jelas
- Panas dan demam berkepanjangan.
Penyebab penyakit Lupus itu
sendiri merupakan kombinasi faktor keturunan, faktor lingkungan dan faktor
hormon. Paparan sinar matahari, penggunaan obat-obatan, infeksi dan stres juga
merupakan sumber pencetus penyakit Lupus. Walaupun demikian penyakit Lupus
tidak menular seperti layaknya penyakit lain.
D. Klasifikasi
Ada
tiga jenis lupus, yaitu :
1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES), dapat
menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus paru-paru, lupus pembuluh
darah jari-Jari tangan atau kaki, lupus kulit, lupus ginjal, lupus jantung,
lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi, dan lain-lain.
2. Lupus
Diskoid, lupus kulit dengan manifestasi beberapa jenis kelainan kulit. Termasuk
paling banyak menyerang.
3. Lupus
Obat, yang timbul akibat efek samping obat dan akan sembuh sendiri dengan
memberhentikan obat terkait. Umumnya berkaitan dengan pemakaian obat hydralazine
(obat hipertensi) dan procainamide (untuk mengobati detak jantung yang tidak
teratur).
E. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi
kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa
turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada
SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel
T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. Uniknya, penyakit Lupus
ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi
justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut
autoimunitas. Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan
dengan dua cara yaitu :Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang
jaringan sel tubuh, seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya
akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah
atau anemia., Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang
pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.Gabungan
antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh
darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini
akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit). Tetapi, dalam keadaan abnormal,
kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi
bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di
sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan
merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan
terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka
panjang fungsi organ tubuh akan terganggu
F. Diagnosa
Diagnosis SLE seringkali sulit ditegakkan karena
gejala klinis penyakitnya sangat beraneka ragam. Untuk menegakkan diagnosis SLE
umumnya harus dilakukan melalui dua tahapan. Pertama, menyingkirkan kemungkinan
diagnosis penyakit lain. Kedua, mencari tanda dan gejala penyakit yang memiliki
nilai diagnosis tinggi untuk SLE. Berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis lupus dapat ditegakkan secara pasti jika
dijumpai 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria, yaitu:
1.
Bercak-bercak merah pada hidung dan kedua pipi
yang memberi gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash).
2.
Kulit sangat sensitif terhadap sinar
matahari (photohypersensitivity).
3.
Luka di langit-langit mulut yang tidak
nyeri..
4.
Radang sendi ditandai adanya pembengkakan
serta nyeri tekan sendi.
5.
Kelainan paru.
6.
Kelainan jantung..
7.
Kelainan ginjal.,
8.
Kejang tanpa adanya pengaruh obat atau
kelainan metabolic,
9.
Kelainan darah (berkurangnya jumlah sel
darah merah, sel darah putih, dan keping darah),
10.
Kelainan sistem kekebalan (sel LE
positif atau titer anti-ds-DNA abnormal atau antibodi anti SM positif atau uji
serologis positif palsu sifilis),
11.
Antibodi antinuklear (ANA) positif.
Kelainan yang paling sering adalah kelainan sendi
dan kelainan kulit. Sendi yang sering terkena adalah sendi jari-jari tangan,
sendi lutut, sendi pergelangan tangan dan sendi pergelangan kaki. Kelainan
kulit berupa butterfly rash dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis lupus.
G. Resiko
Penyakit Lupus terhadap kehamilan
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus,
sering diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering dijumpai
gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.
Dalam kehamilan sering terjadi kelainan kulit sehingga kambuhnya lupus dapat tidak diketahui, namun pada umumnya tetap dapat diobati dengan obat yang terseleksi. Lebih baik apabila ibu dengan lupus tidak mendapat obat-obatan selama hamil, namun belum ada laporan bahwa obat-obat untuk lupus (kecuali cyclophosphamide atau golongan kortikosteroid selain prednison) menyebabkan cacat janin meskipun jumlah kasus belum banyak.
Dalam kehamilan sering terjadi kelainan kulit sehingga kambuhnya lupus dapat tidak diketahui, namun pada umumnya tetap dapat diobati dengan obat yang terseleksi. Lebih baik apabila ibu dengan lupus tidak mendapat obat-obatan selama hamil, namun belum ada laporan bahwa obat-obat untuk lupus (kecuali cyclophosphamide atau golongan kortikosteroid selain prednison) menyebabkan cacat janin meskipun jumlah kasus belum banyak.
Risiko terhadap bayi: sekira 25% kehamilan pada ibu
lupus akan berakhir dengan keguguran (pada ibu normal tanpa lupus keguguran
sekira 8 – 10%), 25 – 50% dapat hamil cukup bulan, dan sekira 25 – 50%
melahirkan pada usia kurang bulan. Sekira 3% bayi yang dilahirkan dapat
mengalami neonatal lupus berupa kelainan pada kulit dan kelainan irama jantung.
Tidak didapatkan peningkatan angka kejadian cacat fisik lainnya atau cacat
mental pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan penyakit lupus. Demikian juga
perkembangan bayi dengan nenonatal lupus pada umumnya normal. Risiko pada ibu
meningkat dalam hal terjadinya preeklamsi/eklamsi (kenaikan tekanan darah yang
terjadi dalam kehamilan, dapat disertai kejang), turunnya trombosit dan
terdapatnya protein dalam air kemih.
Masalah utama yang terjadi pada kehamilan dengan SLE
yaitu meningkatnya komplikasi kehamilan terkait dengan penyakit SLE dan
terjadinya flare akibat kehamilan. Kondisi penyakit SLE yang buruk pada
wanita hamil atau penyakit aktif sebelum dan selama kehamilan akan berdampak
terjadinya flare sehingga dapat mempengaruhi terhadap kondisi ibu maupun
janin. Flare menurut Arfaj dan Khail (2010) dapat didefinisikan sebagai
serangan yang tidak terduga dari penyakit setelah periode remisi. Flare penyakit
SLE sering terjadi pada kehamilan dan berdampak terhadap meningkatnya resiko
morbiditas, kelahiran prematur bahkan kematian janin.
Flare penyakit SLE pada
kehamilan merupakan prediktor yang sangat kuat berhubungan dengan dampak buruk
yang terjadi selama kehamilan seperti pengakhiran kehamilan, kelahiran prematur
dan Intrauterine Growth Retardation 8 (IUGR). Komplikasi umum kehamilan
pada wanita dengan SLE menurut Roy, Das dan Datta (2010) terkait dengan adanya
faktor prediktor diantaranya hipertensi, preeklamsi, eklamsi, perdarahan
anterpartum, IUGR, prematuritas, abortus dan still birth dan diabetes
dalam kehamilan. Komplikasi lainnya yang terjadi pada wanita hamil akibat
penyakit SLE diantaranya infeksi, hipertensi pulmonal, stroke, emboli paru,
trombosis vena dan lupus neonatal.
Komplikasi lanjut ini terjadi karena kehamilan dapat
mempengaruhi perjalanan penyakit SLE. Plasenta dan fetus dapat menjadi target
dari autoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan
dan terjadinya lupus eritematosus neonatal. Pada penderita SLE kematian janin
dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid yang merupakan antikoagulan
lupus (Varghese, Crocker, Bruce dan Tower, 2011). Antibodi antifosfolipid
merupakan indikator yang paling sensitif untuk kematian janin, pada beberapa
penelitian dikatakan bahwa adanya antibodi fosfolipid dan riwayat kematian
janin memberikan angka 9.
H. Perawatan
Kehamilan dengan SLE
Konseling kaitannya dengan kehamilan lebih ditekankan pada merencanaan
kehamilan yang tepat.. Jika wanita hamil
terdiagnosa SLE penting mengidentifikasi adanya flare penyakit pada awal
kehamilan terhadap komplikasi terkait kehamilan pada wanita dengan penyakit SLE
dan pemantauan kondisi janin serta ibu. Pemeriksaan laboratorium yang lengkap
pada kunjungan pertama antenatal harus dilakukan dan diulang setiap trimester.
Ibu yang menderita penyakit SLE aktif harus terus diobservasi secara rutin
untuk mengurangi dampak buruk yang terjadi pada ibu dan janin sehingga
menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas, kemudian
pemerian konseling menngenai pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman dalam
penanganan penderita SLE pasca persalinan, kontrasepsi oral yang hanya
mengandung progesteron merupakan alternatif yang lebih aman untuk penderita SLE
pasca persalinan, karena kontrasepsi yang memiliki kandungan estrogen dapat
mencetuskan SLE.
Terkait dengan penanganan
serta pemantauan pada ibu hamil dengan SLE dalam hal ini perawat perlu
melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain seperti kerjasama yang baik
antara perawat dengan bagian obstetri dan bahkan ahli penyakit dalam untuk
merawat penderita SLE yang hamil sehingga dapat memberikan penanganan dan
pemantauan yang tepat agar kondisi ibu dan janin selama kehamilan dalam kondisi
yang baik. prediksi kematian janin diatas 85% pada wanita SLE. Pada wanita
hamil dengan penderita SLE dapat menderita preeklamsi, sindrom antifosfolipid
atau keduanya, sehingga kemungkinan terjadi kelainan pertumbuhan janin sangat
tinggi pada kasus ini. Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada
saat konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan
lebih baik. Menurut Kwok, Tam, Zhu, Leung dan Li (2011) bila dalam waktu kurang
dari 6 bulan sebelum konsepsi terdapat riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif
dengan skor SLEDAI 4 atau lebih akan beresiko berdampak buruk terhadap janin.
Diperkuat oleh Roy, Das, Datta (2010) bahwa penderita SLE yang telah mengalami
masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai resiko 25% eksaserbasi
pada masa hamil dibandingkan dengan bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari
6 bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dengan dampak
kehamilan yang buruk.
Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE sangat
ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi
mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan dengan sebelum mencapai
remisi. Dengan penyakit yang stabil atau menderita flare yang relatif
jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan akan melahirkan bayi yang sehat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan
dalam makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya
dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B,
sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik. Kemudian
dari penjelasan diatas mahasiswa mampu :
1.
Menjelaskan
tentang definisi penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
2.
Menjelaskan
tentang eriologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
3.
Menyebutkan
gejala dan penyebab penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
4.
Menyebutkan
klasifikasi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
5.
Menjelaskan
tentang patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
6.
Menjelaskan
tentang diagnosa dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
7.
Menjelaskan
resiko dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) terhadap
kehamilan,
8.
Menjelaskan
tentang perawatan kehamilan dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)
B. Saran
Disarankan
Kepada mahasiswa agar lebih cermat dalam mendiagnosa adanya penyakit SLE pada
ibu hamil, karena hal demikian dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan janin.
DAFTAR PUSTAKA
Charless d Forbes, 2004. Illustrated
Pocket Guide to Clinical Medicine. Jurnal penyakit
Kusuma, 2007. Lupus Eritematosus
Sistemik pada Kehamilan. Jurnal penyakit.
Manuaba, 2009. Patologi Obstetri
untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC
Nyoman, 2007.The Lupus Book.Yogyakarta:
IKAPI
Roy, 2010. SLE in Pregnancy.
Jurnal BSMMV
Yuriawantini, 2007. Aspek Imunologi
SLE. Jurnal penyakit
Kalau warna backgrounya diganti yang lebih soft mungkin akan lebih enak dibaca . .
BalasHapus